Minggu ini, pasar saham AS akan diuji oleh data inflasi terbaru. Investor khawatir kebijakan tarif dari Presiden AS Donald Trump memupuskan harapan akan adanya penurunan suku bunga oleh bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed) tahun ini.
Level Indeks S&P 500 saat ini masih bertahan di sekitar 1% di bawah rekor tertingginya, meski minggu lalu saham-saham terpuruk akibat rencana Trump untuk mengenakan tarif pada negara-negara mitra dagang utama AS.
Tarif dinilai dapat meningkatkan inflasi, yang membuat The Fed lebih sulit untuk memangkas suku bunga lebih lanjut. Bulan lalu, The Fed menghentikan sementara siklus pemotongan suku bunga karena masih menanti data-data yang menunjukkan sinyal aman untuk melonggarkan kebijakan moneter.
Pada Rabu (12/2) mendatang, laporan Indeks Harga Konsumen (CPI) AS akan dirilis untuk memberikan gambaran terbaru tentang tren inflasi, yang menjadi perhatian utama investor. Sebuah survei terhadap lebih dari 4.000 traders yang dipublikasikan minggu lalu menunjukkan bahwa mereka melihat inflasi dan tarif sebagai dua faktor yang paling memengaruhi pasar tahun ini.
“Inflasi adalah faktor tidak terduga pada tahun 2025 karena bisa memengaruhi kebijakan terkait suku bunga,” kata Charlie Ripley, pakar investasi senior di Allianz Investment Management.
“Jika inflasi memanas, peluang bagi The Fed untuk terus menurunkan suku bunga akan berkurang, dan tentu saja pasar tidak menyukai hal itu,” imbuhnya.
Menurut survei kantor berita Reuters, Laporan CPI pada Januari ini kemungkinan akan menunjukkan kenaikkan inflasi sebesar 0,3% dibandingkan bulan sebelumnya.
Akan tetapi, sejumlah analis di Wall Street memperingatkan bahwa Januari biasanya lebih sulit diprediksi karena adanya faktor-faktor musiman, yang bisa menyebabkan pasar menjadi lebih fluktuatif saat data dirilis.
Laju inflasi memang telah melambat dari level tertingginya dalam 40 tahun terakhir pada tahun 2022. Ini memungkinkan The Fed memangkas suku bunga tahun lalu. Namun,